Adipati Karna

Dia terlahir dengan memakai baju perang lengkap dengan segala perlengkapan perang, dia matipun masih dengan baju perang yang terhiasi indah luka-luka pertempuran serta tangan masih erat memegang busur panahnya. “Dia lahir dan mati sebagai ksatria” dan itulah kisah yang harus dijalani olehnya. Senja telah muram alampun tertunduk sedih mengiringi duka yang disenandungkan oleh Kurusetra.

 Adipati Karna atau Basukarna  dalam kisah “MAHABARATA” dikenal sebagai seorang senopati(panglima perang) dari ratusan senapati Hastinapura yang gugur dalam Baratha Yudha. Pertempuran antara para Pandawa dengan Korawa dalam memperebutkan kekuasaan Hastina. Adipati Karna dikenal sebagai panglima perang utama, yang pilih tandhing sakti mandraguna baik dalam olah kanuragan maupun dalam olah strategi perang. Maka tak heran dalam pertempuran yang melibatkan Adipati Karna sebagai panglima perang pada fihak Pandawa gugurlah senopati yang tangguh pula,yakni Gatutkaca putra Bima, terkena senjata andalan Adipati Karna “Panah sakti Kunthowijayandanu”. 

Selain itu Adipati Karna dikenal pula memiliki nilai kesetiaan yang sangat tinggi . Karena itulah sampai saat ini dalam kebudayaan jawa khususnya wayang Adipati Karna dipandang memiliki nilai lebih untuk dijadikan suri tauladan pada sisi patriotisme nya Seperti pula dengan penghargaan yang diberikan pada pahlawan besar Kumbakarna adik Rahwana dari negri Alengka pada kisah Ramayana.


Ini dapat kita lihat dalam sebuah serat berbahasa jawa berbentuk tembang karya KGPAA Mangkunegara IV yang berjudul “Wedhatama” dimana Adipati Karna diberikan tempat khusus dalam tembang Dhandhanggula yang berisi ketokohan sosok Adipati Karna dan himbauannya, agar kaum muda dapat mencontoh serta memiliki semangat patriotisme akan halnya Adipati Karna ini.

Siapakah sebenarnya Adipati Karna ? Adipati Karna sebenarnya adalah putra dari Dewi Kunthitalibrata dari negri Mandura. Dia telah memakai baju perang dan membawa perlengkapan perang sejak dia dilahirkan oleh Dewi Kunthi ini. Dewi Kunthi mendapatkan wiji dari anugerah Hyang Surya. Dewa Matahari. Ketika beliau ingin mencoba kekuatan adji pameling yang didapatnya dari Resi Druwasa Karena saat itu Dewi Kunthi belum bersuami maka atas kehendak Bathara Surya kelahiran janin dilewatkan melalui telinga Dewi Kunthi. Karena proses kelahirannya inilah menyebabkan dia diberikan nama Karna atau Basukarna yang dalam bahasa jawa kuna berarti “telinga”. 

Dan karena dia juga putra keturunan Hyang Surya maka ia pun berhak memakai nama “Surya atmadja atau Surya putra” yang berarti putra Dewa Matahari. Sedangkan Dewi Kunthi setelah pernikahannya dengan Prabu Pandudewanata dari Astina mendapatkan tiga putra yakni Puntadewa Bima dan Arjuna. 

Jadi sebetulnya antara Karna dan ketiga Pandawa diatas itu sebenarnya saudara kandung belaka. Bayi “karna” selepas persalinannya yang karena saat itu Kunthi belum bersuami dan hal diatas dianggap sangatlah tabu maka sang janinpun akhirnya dilarung disungai Yamuna. Karena kehendak Dewata pada saat itu ditepi sungai Yamuna sedang bertapa seorang raja dari Pethapralaya bernama “Radheya” (dalam versi lain disebutkan Adirata seorang kusir kereta dari Astina) memohon kepada Tuhan Yang Maha Kuasa untuk diberikan putra. 

Diketemukan olehnya seorang bayi mungil terhanyut aliran sungai. Dengan penuh kasih sayang diasuhlah Karna oleh Radheya hingga tumbuh menjadi sosok ksatria rupawan dan pilih tandhing. Pertemuan korawa dengan Karna terjadi ketika diadakan pendhadharan siswa Sokalima yang siswa-siswanya khusus yakni antara para Korawa dan para Pandawa.

Saat itu Karna yang merupakan orang luar dari kalangan Kurawa ataupun Pandawa, turun membantu Kurawa dalam uji ketangkasan memanah dengan Arjuna dari fihak Pandawa. Melihat hal itu marahlah Bima kepada Karna hingga terjadi perdebatan seru, Kurupati (anak sulung dari Korawa) yang melihat kemampuan Karna berniat memanfaatkannya untuk menambah kekuatan kurawa. Maka diangkatlah Karna sebagai saudara dari para Korawa.

Budi baik inilah agaknya yang terus diingat oleh Karna hingga mendasari kesediaan Karna berperang di fihak Korawa dan bersedia memerangi para Pandawa yang notabenya adalah saudara-saudara kandungnya. Setelah Karna diangkat sebagai saudara oleh para Korawa maka diapun diberikan jabatan sebagai raja kecil di negri Awangga salah satu negri bawahan Astina yang pada masa itu (Astina) di perintah oleh Raja Destharastra kakak kandung Raja Pandhu yang juga ayah dari para Korawa. Waktupun berjalan dan akhirnya sampailah perjalanan Karna pada takdir yang telah dikehendaki para Dewata tentang Perang Suci BarathaYudha.

Saat itu sebenarnya Karna telah mengetahui tentang siapa Pandawa yang sebetulnya adalah adik-adik kandungnya. Tangisan Dewi Kunthi, dan bujukan-bujukan dari Prabu Kresna telah berulang kali dia dengar. Namun DarmaBakti kepada tanah Astina dan Loyalitasnya kepada Kurupati, menyebabkan kereta perang kebanggan Awangga harus melaju ketengah medan laga dengan memikul busur, serta mengendhong anak panah, berdirilah kokoh sang kakak yang perkasa ini di bawah panji-panji Astina berperang melawan para Pandawa.

Para Pandawa yang pada saat itu telah kehilangan panglima perang Gatutkaca, atas pemikiran ahli strategi militernya yakni Srhi Kresna (raja Dwaraka) menunjuk Arjuna sebagai panglima perang untuk mengimbangi kemampuan dan kesaktian dari Adipati Karna yang termashur. .Dan Krisna sendiri yang duduk sebagai kusir kereta Arjuna mengimbangi ketenaran Prabu Salya (Calya) raja Mandaraka, yang duduk sebagai kusir kereta perang adipati Karna.

Pertemuan dua saudara kandung dalam medan perang ini laksana pertemuan dua buah gigi taring Bethara Kala yang siap menghancurkan Jagad.

Kharisma dari keduanya bersinar menyilaukan bagaikan dunia telah diterangi Matahari kembar. Dan derap kaki-kaki kuda yang beradu dengan kerasnya palagan bergemuruh membahana, mengalun, menggelora memenuhi Triloka hingga menggoda para Dewa-Dewi untuk turut manjadi saksi jalannya pertempuran besar yang akan selalu teringat oleh jaman ini. Pertempuran serupun tak dapat terelakkan dan untuk kesekian kalinya sang ibupun menangis sedih menyaksikan kedua putranya saling berebut lengah mengincar kematian demi Darma yang telah mereka yakini .

Luka-luka ditubuh tiada dihiraukan dianggaplah itu kebanggaan yang tersemat dalam baju perang mereka, desingan tombak dan anak panah tiada berbeda seperti belaian mesra kekasih tercinta dan bau amis darah yang memenuhi medan perang bagai wangi bunga-bunga yang tertanam indah di taman sorga bethara Indra.

Dalam pertempuran disuatu ketika Karna lengah dan mata anak panah Arjuna yang tak pernah lepas mengintai lawan-lawannya melesat memisahkan kepala dari badan sang panglima perang, sukma nya keluar membumbung tersambut oleh para bidadari yang menebarinya dengan harum melati dan menuntun atmanya sampai ke sorga dimana dia akan bersemayam. Dia telah gugur sebagai prajurit yang tetap memegang janji kepada bangsa dan negara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar